Rabu, 01 Februari 2012

Lingkar Berita: Aksi para Robin Hood Jogjakarta

Daerah Istimewa Jogjakarta (DIY) memiliki pesona budaya yang cukup bersinar dan variatif. Dari tarian, wayang, batik, dan berbagai pernak-pernik budaya tradisional lainnya. Beberapa sudah mulai dilupakan oleh masyarakat. Salah satunya, kebudayaan memanah tradisional ala Robin Hood ini.

Seni memanah tradisional ini dalam bahasa jawa disebut, Jemparingan Jawi Mataram. Biasanya, selalu digelar di halaman Istana Pakualaman, Jogjakarta. Sebuah baguyuban bernama Jalantara (diambil dari nama busur panah penyebar Islam di Jawa, Sunan Kalijaga-red), adalah salah satu yang terus menghidupkan tradisi itu. Jemparingan Jawi Mataram ala Jalantara dilakukan setiap 35 hari sekali. Tepatnya pada hari Sabtu Pahing.

Agung Semedi, satu dari 35 orang penggiat Jalantara mengatakan, seni memanah yang digelutinya bukan sekedar aktivitas memanah semata. Melainkan, sarat dengan nilai-nilai budaya Islam Mataram. Khususnya yang diajarkan Sunan Kalijaga. Mereka percaya, Kalijaga meneruskan pesan Nabi Umat Islam, Muhammad SAW, tentang ‘syarat’ muslim sempurna. Yakni, yang ahli berkuda, berenang dan memanah.

Begitu dalamnya makna Jemparingan Jawi Mataram, Paku Alam memutuskan untuk terus memelihara seni tradisional ini. Sejak zaman Mataram Islam, Jemparing Jawi menjadi salah satu olahraga keluarga Kerajaan. Pakualaman, menyiapkan halaman belakang sebelah utara Istana untuk dijadikan tempat berlatih Jemparingan Jawi ini. “Selain itu, Jemparingan Jawi Mataram juga sarat dengan nilai-nilai budaya, yaitu membutuhkan keahlian, kekuatan dan konsentrasi agar bisa memanah di bandul sasaran,” kata Agung.

Dan itu bukan hal yang mudah. Untuk bisa memanah dalam Jemparingan Jawi yang selama ini dihidupkan oleh Paku Alam, dibutuhkan sejumlah persyaratan. Setiap gerakan dalam Jemparingan Jawi ini mempunyai makna dan tirakat tersendiri. Bila laku (baca: prilaku) itu dilaksanakan, maka anak panah akan melesat mengenai bandul sasaran.

Perlengkapan

Untuk bisa mengikuti Jemparingan Jawi Mataram diperlukan sejumlah perlengkapan. Yang utama adalah Busur dan anak panah. Itu ‘tantangan’ pertama. Mengingat harganya pun tidak murah. Setidaknya, perlu dana Rp. 650 ribu untuk membeli busur dan anak panah sebanyak 10 buah. Itu pun sudah terbuat dari bahan yang paling murah, namun tetap berkualitas. “Seharga Rp.650 ribu itu memiliki kualitas yang lebih minim,” kata Agung. Karena harga itu juga, Jalantara menjadikan busur dan anak panah sebagai asset paguyuban, bukan perseorangan.

Perlengkapan lainnya adalah bandul sasaran dengan kerincingan (sesuatu yang bergemerincing), yang akan diletakkan di atas seutas tali. Bandul inilah sasaran para pemanah, yang diberi bulatan berwarna merah. Plus, kain hitam sebagai pembatas arena. Di ujung sasaran, ada matras, untuk menahan anak panah yang meleset tidak mengenai bandul. Saat beraksi, bandul diletakkan sekitar 50-100 meter dari tempat peserta melepaskan anak panah. Diikatkan secara vertikal di seutas tali, yang dikaitkan galah atau pohon-pohon yang ada di sekitar arena.

Bagi penggiat Jemparingan Jawi, apa yang dilakukannya sama dengan pertandingan golf. Terutama dalam hal ‘service’ pegolfnya. Bila dalam golf ada caddy, begitu juga di Jemparingan Jawi. Busur dan anah panah secara khusus dibawakan oleh ‘caddy’. Para pemanah biasanya akan duduk bersila di tempat melepas anak panah. Bila akan memanah, ‘caddy’ akan mengambilkan anak panah. Ancang-ancang, dan wussss! Anak panah pun melesat menuju ke bandul. Bila tepat sasaran, maka anak panah itu akan menancap di bandul, dan menggoyang krincingan. Suara gemerincing itu menandakan sasaran tepat terkena. Bila tidak, maka akan menancap di matras, yang berjarak 10 meter di belakang bandul.

Pemanah tidak perlu mengambil anak panah itu. Karena di tak jauh dari matras, ada remaja-remaja pembantu ‘caddy’, yang akan mengambili anak panah itu, dan memberikan kembali kepada pemanah. Biasanya dilakukan setelah seluruh pemanah usai melesatkan anak panahnya. Makanan berupa kue-kue khas dan pisang rebus serta minuman seperti teh atau kopi hampir pasti menemani aktivitas Jemparingan Jawi. “Makanan dan minuman ini dibuat oleh anggota paguyuban yang bersumber dari uang pendaftaran peserta sendiri. Intinya dari kita dan untuk kita,” kata Agung.

Penilaian

Dalam setiap putaran, Jemparing Jawi membagi aktivitas memanah dalam 20 rambahan (babak,red). Dalam setiap rambahan, peserta bisa melepaskan empat anak panah dengan durasi waktu selama lima menit. Penentuan nilai pemenang adalah peserta yang berhasil mengenai bandul, tepat di merah, akan bernilai tiga. Di luar itu, biasanya diberiwarna putih, diberikan nilai satu. Peserta bisa mendapatkan poin tambahan jika memperoleh nilai sandang yang dihitung berdasarkan jumlah anak panah yang mengenai sasaran dalam satu kali rambahan.

Uniknya, Jemparinganan Jawi tidak hanya diikuti oleh kaum laki-laki, melainkan juga perempuan. Mereka disebut Srikandi Jemparingan. Aksi mereka tidak kalah tangkas. Seorang Srikandi bernama Ratna, dikenal sebagai salah satu Srikandi Jemparingan hebat yang sering memenangkan lomba yang digelar Jalantara.

Tokoh Budaya Jogjakarta dari Kalangan Istana Ngayogakarta, Wibie Mahardhika menilai, Jemparingan Jawi perlu lebih dipublikasikan, agar nilai, makna dan aktivitasnya bisa juga dinikmati oleh lebih banyak masyarakat. Selama ini, tradisi unik dan mempunyai filisofi kehidupan yang sangat agung ini belum terpublikasikan dengan baik.

Saat pelaksanaan Peringatan 500 Tahun Sunan Kalijaga pada Juli 2011 silam, Jemparingan Jawi Mataram dimasukkan dalam agenda event budaya besar di Jogjakarta ini. “Semoga bisa menjadi kebudayaan yang dicintai dan dijaga oleh masyarakat Jogjakarta pada umumnya, tidak hanya sebatas paguyuban Jalantara saja,” harap Wibie.

Teks: Firman Qusnulyakin, Sumber: LingkarBerita.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar