Minggu, 06 Januari 2013

Jogjanews: Prosesi Patehan dan Jemparing untuk Tamu Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta

Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta menghadirkan ritual Keraton Ngayogyakarta untuk memberikan pelayanan istimewa bagi tamu hotel ini. Hotel ini memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki hotel berbintang lain yaitu berada di sebelah timur keraton yang dulu menjadi tempat tinggal Sultan Hamengku Buwono VI. Keberadaan kraton tempat tinggal HB VI ini menjadi salah satu tempat sejarah yang bisa dikunjungi tamu hotel. Di tempat ini, pengelola Hotel Ambarrukmo Yogyakarta mengadakan acara minum teh dan makan malam dengan tata cara adat Kraton Yogyakarta.

Tata cara adat Kraton Yogyakarta meminum teh ini disebut Patehan yang dilakukan di Pendopo berupa aula joglo terbuka yang dimasa lalu dijadikan untuk pagelaran tari. Nama Patehan diambil dari sebuah bangsal yang ada di Kraton yang berada di sisi barat Bangsal Sri Manganti. Pada masa dahulu, prosesi pemberian teh untuk para raja Kraton Yogyakarta dilakukan dua kali dalam satu hari yaitu pada pukul dua siang dan empat sore.

Tata cara prosesi Patehan dilakukan oleh lima abdi dalem wanita yang dikepalai oleh seorang “bekel” yang menjadi pemimpin dalam prosesi patehan yang menggunakan busana yang disebut “Samir” yaitu kombinasi pakaian atasan kemben yang dipadukan dengan jarik sebagai bawahan pakaian dengan selendang yang dikalungkan di bagian leher, dan tentunya dengan bertelanjang kaki, yang sudah menjadi aturan seorang abdi dalem.

Para abdi dalem yang membawa sajian teh dan makanan memiliki nama sebutan berbeda-beda. Untuk abdi dalem yang berada di barisan depan sebagai pembawa payung disebut Songsong. Sementara abdi dalem yang bertugas membawa klemuk atau kendi dari tembaga sebagai tempat air smur dari Bangsal Patehan yang dikeramatkan disebut abdi dalem “Klemuk”. Kemudian abdi dalem yang berada di barisan berikutnya disebut abdi dalem Sebintang yang membawakan nampan yang isinya 2 teko yang berisi teh yang ditutup kain putih. Abdi dalem keempat di belakang sebintang membawa dua teko yang berisi kopi yang ditutup kain putih juga. Abdi dalem di barisan terakhir adalah yang bertugas membawa ceret berisi air panas.

Seperti yang diperagakan petugas Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Jum’at (16/12). Mereka mendatangi tamu yang duduk di kursi di pendopo dengan cara laku dhodhok atau jalan jongkok. Sebelumnya barisan petugas hotel itu mendatangi pendopo dari arah timur dengan pakaian adat Jawa. Petugas pria menggunakan surjan, dan wanita berkemben kain. Mereka membawa makanan dan minuman dengan cara dipanggul di pada tempat khusus. Mereka harus meliwati beberapa undakan dengan berjalan jongkok sebelum menyentuh lantai pendopo. Setelah menyentuh lantai pendopo, mereka tetap berjalan ndhodhok hingga menuju tempat makan tamu hotel.

Pada peragaan tradisi Patehan Jum’at sore itu, tampak hadir GBPH Yudhonegara, adik Sri Sultan Hamengku Buwono X, serta Direktur Jogja Gallery, Hendro Suseno. Makanan yang disajikan berupa gorengan tempe, pisang, tahu, dan serabi manis. Para penyaji Patehan terus berada di seputar tamu hingga teh atau kopi tersaji. Setiba dekat meja makan, kotak dibuka, dan para petugas mengambil berbagai macam hidangan itu. Sebelumnya, tamu diberi minuman pembuka yang segar dengan rasa gurih. Setelah pemberian minum dan makanan usai, petugas meninggalkan pendopo dengan tetap berjalan ndhodhok atau jongkok.

Adat Kraton Yogyakarta jaman dulu yang diselenggarakan pengelola Hotel Ambarrukmo Yogyakarta di depan pendopo Kraton yang dulu menjadi tempat tinggal HB VI adalah jemparingan atau memanah (jemparing). Memanah adalah kegiatan yang digemari raja Kraton Yogyakarta dari HB I hingga HB X. Tak ubahnya menari tari Jawa Beksan Lawung bagi para raja tersebut. Pada jaman dahulu jemparingan dilakukan setiap tanggal kelahiran Sri Sultan Hamengku Buwono saat memimpin.

Pada abad ini, Jemparing sudah hampir hilang seiring dengan berjalannya waktu. Dan untuk menghidupkan kembali seni kebudayaan Jemparingan ini, dua tahun yang lalu pada tahun 2009 diadakanlah rapat oleh beberapa orang dari perkumpulan Pakualaman Yogyakarta untuk mencoba membentuk satu komunitas yang dinamakan “Jalantara” yang mempunyai arti “senjata milik Sultan Kalijaga”.

Salah satu pendiri komunitas ini yaitu Bpk. Winantu yang merasa prihatin dan berniat keras untuk mencoba menghidupkan kembali seni budaya Jemparing ini bersama dengan rekan-rekannya. Pada tahun 2010, komunitas ini dilirik oleh sebagian komunitas dari Atmajaya dan mulai ikut bergabung untuk memeriahkan setiap perlombaan dan acara-acara besar, salah satunya yaitu acara peringatan 1 abad Muhamadiyah degan jumlah peserta sebanyak 128 peserta.

Komunitas yang didasari dengan rasa kepedulian untuk tetap menghidupkan salah satu seni budaya di Yogyakarta ini selalu melakukan rutinitas latiahan Jalantara setiap hari di sore hari. Tempat pelatihan Jemparing ini dilaukan di dua tempat yaitu di lapangan Paku Alaman dan lapangan Kampus Atmajaya dan saat ini akan rutin dilaksanakan di halaman Pendopo Agung Kedaton Ambarrukmo setiap hari Jumat.

Diharapkan dengan adanya komunitas Jalantara ini, dapat membuat budaya jemparing hidup dan lebih diminati oleh setiap komunitas. “Biasanya jemparingan dilakukan setiap hari Jum’at dimulai pukul 15.00” ujar Malika Hesty, Public Relation Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta.

Sumber: Jogjanews.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar